1/20/2013

Konsep medis gagal ginjal kronik
1.       Pengertian
Pengertian mengenai Gagal Ginjal Kronik banyak diungkapkan oleh beberapa ahli, walaupun cara pandang para ahli berbeda tetapi mengandung arti yang sama, diantaranya :
Gagal Ginjal Kronis adalah suatu kondisi yang permanen dan irreversible dimana ginjal berhenti untuk membuang sampah metabolik dan air yang berlebihan dari darah (Price, 2001).
Gagal Ginjal Kronik adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut (Suyono, 2001).
Gagal Ginjal Kronik adalah penyakit renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer, 2002).
Dari ketiga pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Gagal Ginjal Kronis atau renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi ureum dan sampah nitrogen lain dalam darah).
2.        Etiologi
Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel dari berbagai penyebab. Sebab-sebab gagal ginjal kronik yang sering ditemukan yaitu :
a.    Infeksi/ penyakit peradangan : pielonefritis kronis dan glomerulonefritis.
b.    Penyakit vaskular/ hipertensi : nefroskerosis benigna/maligna dan stenosis arteri renalis.
c.    Gangguan jaringan penyambung : lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodose dan skerosis sistemik progresif.
d.   Gangguan kongenital/ herediter : penyakit ginjal polikistik dan ansidosis tubulus ginjal.
e.    Penyakit metabolik : diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme dan amiloidosis.
f.     Nefropati toksik : penyalahgunaan analgetik dan nefropati timbal.
g.    Neuropati obstruktif
h.    Saluran kemih bagian atas yaitu neoplasma dan fibrosis retriberitonial.
i.      Saluran kemih bagian bawah yaitu hipertropi prostat, struktur uretra anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra (Price, 2001).
3.        Patofisiologi
Pada penderita gagal ginjal kronik, akan mengalami penurunan fungsi ginjal, produk akhir metabolisme protein (ureum, kreatinin, asam urat yang normalnya dieksresikan kedalam urine) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat (Smeltzer, 2002).
a.    Penurunan laju filtrasi glomerolus (GFR)
Penurunan GFR terjadi akibat tidak berfungsinya glomeruli, kreatinin akan menurun dan kadar kreatinin serum meningkat. Selain itu kadar nitrogen urea darah (BUN) akan meningkat.
b.    Retensi cairan dan natrium.
Ginjal juga tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urine secara normal pada penyakit ginjal tahap terakhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Penahanan natrium dan cairan, meningkatkan resiko terjadinya oedema, gagal jantung kongesti dan hipertensi. Hipertensi dapat terjadi aktivasi aksis renin- angiotensin-aldosteron. Mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam mencetuskan resiko hipertensi dan hipovolemi.
c.    Asidosis
Terjadi asidosis metabolik seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengeksresikan muatan asam (H +) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mensekresikan amonia (NH3+) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3 -). Nilai normal adalah 16-20 mEq/L. Penurunan eksresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi. Pada sebagian klien GGK asidosis metabolik terjadi. pada tingkatan ringan dengan Ph darah tidak kurang dari 7,35. nilai normalnya 7,35-7,45.
d.   Anemia
Terjadi akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat (racun uremik dapat menginaktifkan eritropoetin atau menekan sum-sum tulang terhadap eritropoetin). Memendeknya usia sela darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan mengalami perdarahan terutama disaluran gastrointestinal, anemia akan menyebabkan kelelahan, dapat timbul dispneu sewaktu penderita melakaukan kegiatan fisik. Anemia GGK akan timbul apabila kreatinin serum lebih dari 3,5 mg/100 ml atau GFR menurun 30 % dari normal.
e.    Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat
Dengan menurunnya filtrasi ginjal dapat meningkatkan kadar fosfat serum dan sebaliknya serta peningkatan fosfat serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid tapi pada GGK tubuh tidak berespon normal terhadap peningkatan sekresi hormon dan akibatnya kalsium tulang menurun sehingga menyebabkan perubahan pada tulang. Selain itu metabolik aktif vitamin D (1,25 dehidrosikolekalsiferol) yang secara normal dibuat diginjal menurun seiring perkembanagan gagal ginjal.
f.     Ketidakseimbangan kalium
Hiperkalemia timbul pada klien GGK yang mengalami Oligouri disamping itu asidosis sistemik dapat menimbulkan hiperkalemia melalui pergesaran K+ dari sel kecairan ekstra seluler. Bila K + antara 7-8 mEq/ L akan timbul disritmia yang fatal bahkan henti jantung.
g.    Hipermagnesemia
Uremia akan mengalami penurunan kemampuan meneksresikan magnesium, sehingga kadar magnesium serum meningkat (nilai normal 1,5-2,3 mEq/L).
h.    Hiperurisemia
GGK dapat menimbulkan gangguan eksresi asam urat sehingga kadar asam urat meningkat (nilai normal 4-6 mg/100 ml) sehingga dapat menimbulkan serangan arthithis Gout akibat endapan garam urat pada sendi dan jaringan lunak
i.      Penyakit tulang uremik
Osteodistropi renal terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fospat dan ketidakseimbangan parathormon.
j.      Kelainan metabolisme
Merupakan ciri khas syndrome uremik, meski mekanismenya belum jelas. Terjadi akibat gangguan metabolisme protein akibat dari sintesa protein abnormal. Gangguan metabolisme karbohidrat juga terjadi, kadar gula darah puasa meningkat tapi tidak lebih dari 200 mg/100ml. Akibatnya jaringan perifer tidak peka terhadap insulin, dimana ginjal gagal menonaktifkan 1-5 % insulin dari uremia. Metabolisme lemak terjadi akibat peningkatan kadar trigliserida serum karena peningkatan glukosa dan insulin serta penggunaan asetat dalam dialisat.
4.      Tanda dan Gejala
Pada penderita gagal ginla kronik ditandai oleh nilai GFR yang turun dibawah normal (125 ml/mnt), kemudian apabila GFR menurun, maka kadar kreatinin dan BUN (Blood Urea Nitrogen) plasma akan meningkat diatas normal atau terjadi azotemia (konsentrasi BUN normal 10 – 20 mg/100 mg) seedangkan konsentrasi kreatinin plasma 0,7 – 1,5 mg/100ml. Kedua zat ini merupakan hasil akhir nitrogen dari metabolisme protein yang normalnya disekresi dalam kemih (Price, 2001).
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 stadium, yaitu (Price, 2001) :
a.    Stadium pertama (penurunan cadangan ginjal)
Selama stadium ini kreatinin dan kadar BUN normal dan penderita asimtomatik, nilai GFR adalah 40 – 45 %.
b.    Stadium kedua ( insufiensi ginjal )
Dimana lebih 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak . pada tahap ini kadar BUN sudah mulai meningkat diatas normal. Nilai GFR adalah 20 – 50 %. Peningkatan ini berbeda – beda tergantung dari kadar protein dalam diet, pada stadium ini kadar kretinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal.
c.    Stadium akhir (Uremia)
Stadium ini timbul apabila sekitar 90 % dari nefron telah hancur atau hanya sekitar 20.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai GFR hanya 10 % dari keadaan normal dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5 – 10 ml/ mnt atau kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat sangat mencolok, sebagai respon terhadap GFR yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium ini penderita mulai merasakan gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak mampu mempertahankan kembali homeiostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh, kemih menjadi isoosmosis dan biasanya oligouri dan syndro uremik. Pada stadium akhir gagal ginjal pasti meninggal kecuali mendapat pengobatan transplanasi ginjal atau dialisis.
5.        Komplikasi
         a.          Anemia
        b.          Perdarahan dari perut atau usus
         c.          Disfungsi otak, kebingungan dan dimensia
        d.          Perubahan kadar elektrolit
         e.          Perubahan gula darah (glukosa)
         f.          Kerusakan saraf kaki dan lengan
        g.          Penumpukan cairan di sekitar paru-paru
        h.          Kompliksi jantung dan pembuluh darah
          i.          Hepatitis B, hepatitis C, gagal hati
          j.          Hiperparatiroidisme
        k.          Peningkatan resiko infeksi
          l.          Malnitrisi
      m.          Peningkatan jumlah fosfor dan kalium
        n.          Kejang
        o.          Kulit kering, gatal
        p.          Melemahnya tulang (Smeltzer, 2002).
6.        Dampak Gagal Ginjal Terhadap Perubahan Fungsi Sistem Tubuh
a.    Sistem pernafasan
Pernafasan yang berat dan dalam (kusmaul) dapat terjadi pada pasien yang menderita asidosis berat, komplikasi lain akibat GGK adalah paru-paru uremik dan pneumonitis. Keadaan Oedema paru dapat terlihat pada thorax foto dimana disertai kelebihan cairan akibat retensi natrium dan air, batuk non produktif juga dapat terjadi sekunder dari kongesti paru-paru terutama saat berbaring, suara rales akibat adanya transudasi cairan paru. Kongesti pulmonal akan menghilang dengan penurunan jumlah cairan tubuh melalui pembatasan garam dan hemodialisis.
b.    Sistem kardiovaskuler
Hipertensi akibat penimbunan cairan / garam atau peningkatan sistem renin-angiotensin-aldosteron, nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi pericardial, penyakit jantung koroner akibat arterosklerotis yang timbul dini dan gagal jantung akibat penimbunan cairan dan hipertensi, adanya oedema periorbital, pitting oedema, prictionrub pericardial dan adanya pembesaran vena leher.
c.    Sistem Gastrointestinal
Adanya anoreksia, nause dan vomitus akibat gangguan metabolisme protein diusus, ternbentuknya zat toksik akibat metabolisme di usus seperti amonia dan metil guadin. Zat toksik tersebut merupakan bahan iritan yang dapat menimbulkan defek mukosa barier, histamin terangsang untuk menguluarakan asam lambung. Foetor uremik disebabkan ureum berlebih pada saliva yang diubah oleh bekteri dimulut sehingga menjadi amonia sehingga nafas berbau amoniaq yang menimbulkan stomatitis atau paratitis. Cegukan ( hiccup ) terjadi tapi penyebabnya belum jelas dapat berhubungan dengan sisten saraf otonom.
d.   Sistem Integumen
Kulit berwarna pucat karena anemia, kekuningan akibat penimbunan urekom, gatal-gatal terjadi akibat toksik uremik dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit, ekimosis terjadi akibat gangguan hematologi, urea frost akibat kristalisasi urea yang ada pada keringat (jarang terjadi).
e.    sistem Muskuloskeletal
1)   restless leg syndrom : pasien merasa pegal di bagian kaki sehingga selalu digerakkan
2)   burning feet syndrom : rasa kesemutan dan seperti terbakar terutama di telapak kaki.
3)   Ensefalopati metabolik : lemeh, tidak biasa tidur, gangguan konsentrasi, tremor dan kejang.
f.     Sistem endokrin
1)   Gangguan seksual : libido, fertilitas dan ereksi menurun pada pria akibat testosteron dan spermatogenesis menurun, sebeb lain karena hormon tertentu ( paratiroid ), pada wanita gangguan menstruasi, gangguan ovulasi dengan sampai amenorhoe.
2)   Gangguan metabolisme glukosa, retensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
3)   Gangguan metabolisme lemak dan vitamin D.
g.    Sistem Hematologi
1)   Anemia karena disebabkan oleh penurunan produksi eritropoetin, hemolisis, defisiensi zat besi, asam folat dan nafsu makan berkurang, perdarahan, fibrosis sum – sum tulang akibat hiperparatiroidism sekunder.
2)   Gangguan fungsi trombosit dan trombositopeni.
3)   Gangguan leukosit, fagositosis dan kemotaksis berkurang, fungsi limfosit menurun dan imunitas berkurang.
h.    Sistem Perkemihan
Hilangnya kemampuan pemekatan atau pengenceran kemih dari kadar plasma, Bj kemih 1.010 (nilai normal 1.013). Perubahan tersebut mengakibatkan klien uremia sehingga mudah mengalami perubahan keseimbangan air yang akut. Pemasangan kateter atau pemasangan selang nefrostomy biasanya dapat mambantu dalam pengeluaran urine dan pengukuran keseimbangan cairan tersebut. Gangguan elektrolit dapat terjadi akibat hiperfosthamia, hiperkalemia atau hipokalsemia (Price, 2001).
7.        Pemeriksaan Penunjang
Menurut Suyono, S., (2001) untuk memperkuat diagnosis diperlukan pemeriksaan penunjang, diantaranya :
a.    Pemeriksaan Laboratorium
Pemerikasaan laboratorium dilakukan untuk menetapkan adanya gagal ginjal kronik, menetapkan ada tidaknya kegawatan, menetukan derajat gagal ginjal kronik, menetapkan gangguan sistem dan membantu menetapkan etiologi. Dalam menetapkan ada atau tidaknya gagal ginjal, tidak semua faal ginjal perlu diuji. Untuk keperluan praktis yang paling lazim diuji adalah laju filtrasi glomerulus (LFG).
b.    Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG)
Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis (misalnya voltase rendah), aritmia, dan gangguan elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia).
c.    Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta prostat. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari adanya faktor yang reversible seperti obstruksi oleh karena batu atau massa tumor, juga untuk menilai apakah proses sudah lanjut (ginjal yang lisut). USG ini sering dipakai karena merupakan tindakan yang non-invasif dan tidak memerlukan persiapan khusus.
d.   Foto Polos Abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi dapat memperburuk fungsi ginjal. Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi lain.
e.    Pemeriksaan Pielografi Retrogad
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversible.
f.     Pemeriksaan Foto Dada
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat penumpukan cairan (fluid overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikardial.
8.        Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan hemotasis selama mungkin, seluruh faktor yang berperan pada ginjal tahap akhir dan faktor yang dapat dipulihkan (misalnya : obstruksi) diidentifikasi dan ditangani dengan tiga strategi, yaitu :
a.         Memperlambat progresi gagal ginjal
Dengan pengobatan hipetensi dengan antihipertensi, pembatasan asupan protein untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerolus, restriksi fosfor untuk mencegah hiperparatiroidisme sekunder, mengurangi protein uri, pengendalian hiperlipidemia dengan olahraga dan diet.
b.        Mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut
Dengan pencegahan kekurangan cairan, sepsis, hipertensi yang tidak terkendali dan penggunaan obat nefrotoksik seperti amino – glikosid, obat anti inflamasi non steroid harus dihindari.
c.         Pengelolaan uremia dan komplikasinya
Pencegahan gangguan keseimbangan cairan elektrolit dengan restriksi asupan cairan dan natrium serta pemberian terapi diuretik. Cairan yang diminum harus dibatasi dan diawasi < 1 ltr/hari, keadaan berat 500 ml/hari untuk menghindari hidrasi berlabih/ kurang. Untuk membantu mengurangi asidosis dengan cara pantau LFG tidak < 25 ml/mnt, diet rendah protein 0,6 gr/kg/BB/hari. Pembatasan asupan kalium dari makanan, transfusi darah diberikan bila perlu dan dapat memperbaiki keadan klinis secara nyata. Kadar fosfor serum harus dikendalikan dengan diet rendah fosfor (daging dan susu) untuk mencegah hiperparatiroidesme. Pemberian allopurinol bila ada peningkatan asam urat (100 mg – 300 mg) bila > 10 mg/dl. Dan insisi dialisis atau transplantasi ginjal bila tahap GFR sekitar 5 – 10 ml/mnt.
Menurut Smeltzer, (2002) komplikasi potensial gagal ginjal kronis yang memerlukan pendekatan kolaboratif dalam perawatan mencakup :
1)   Keseimbangan cairan dan elektrolit
Asupan dibatasi < 1 liter/hari, tahap berat < 500 ml/hari, natrium klorida (NaCl) < 2-4 gram/hari, tergantung beratnya edema dan diuretic furosemid.
2)   Hiperkalemia
Biasanya dicegah dengan penanganan dialisis yang adekuat disertai pengambilan kalium dan pemantauan yang cermat terhadap kandungan kalium pada seluruh medikasi oral maupun intravena. Pasien diharuskan diet rendah kalium.
3)   Hipertensi
Biasanya hipertensi dapat dikontrol secara efektif dengan pembatasan natrium dan cairan, serta melalui ultrafiltrasi bila penderita menjalani hemodialisis. Hipertensi dapat ditangani juga dengan berbagai medikasi antihipertensi kontrol volume intravaskuler. Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner juga memerlukan penanganan pembatasan cairan, diet rendah natrium, diuretik, agen inotropik, seperti digitalis atau dobutamine, dan dialisis.
4)   Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik biasanya tanpa gejala dan tidak memerlukan penanganan; namun demikian, suplemen natrium karbonat atau dialisis mungkin diperlukan untuk mengoreksi asidosis jika kondisi ini menimbulkan gejala. Bentuk pengobatan yang paling logis adalah dialisis.
5)   Diet rendah protein untuk mencegah hiperfiltrasi glomerulus. Kalori 35 kal/kg BB, protein 0,6 gram.kg BB/hari
6)   Kalsium dan fosfar : hipokalsemia dan retensi fosfar oleh ginjal. LFG < 30 ml/menit diperlukan pengikat fosfat seperti kalsium karbonat atau kalsium asetat diberikan saat makan.
7)   Hiperurisemia : diberikan 100-300 mg apabila >10 mg/dl atau terdapat riwayat gout.
8)   Anemia
Oleh karena penyebab utama pada gagal ginjal kronik (GGK) tampaknya berupa penurunan sekresi eritropoetin oleh ginjal yang sakit, maka pengobatan yang ideal adalah penggantian hormon ini. Selain ini juga dilakukan pengobatan untuk anemia uremik adalah dengan memperkecil kehilangan darah, pemberian vitamin, androgen, dan transfusi darah.
9)   Abnormalitas neurologi
Pasien dilindungi dari cedera dengan menempatkan pembatas tempat tidur. Awitan kejang dicatat dalam hal tipe, durasi dan efek umum terhadap pasien. Diazepam intravena atau penitoin diberikan untuk mengendalikan kejang.
10) Osteodistrofi ginjal
Salah satu tindakan terpenting untuk mencegah timbulnya hiperparatiroidisme sekunder dan segala akibatnya adalah diet rendah posfat dengan pemberian gel yang dapat mengikat posfat dalam usus. Diet rendah protein biasanya mengandung rendah posfat.
11) Dialisis dan transplantasi ginjal
Dialisis dan transplantasi ginjal dilakukan pada gagal ginjal stadium akhir. Dialisis digunakan untuk mempertahankan penderita dalam keadaan klinis yang optimal sampai tersedia donor ginjal. Dialisis ini dilakukan dengan mengalirkan darah kedalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari 2 kompartemen yang terpisah. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi tertinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi).
9.        Pengobatan
a.       Pengobatan untuk ERSD hanya dialysis atau transplantasi ginjal. Persiapan mencakup belajar tentang dialysis dan jenis terapi dialis0s dan penempatan akses dialysis.
b.      Perawatan biasanya termasuk penghambat ACE, angiotensin reseptor blocker, atau obat lain untuk tekanan darah tinggi.
c.       Perubahan dalam diet:
1)  Makan diet rendah protein
2)  Dapatkan kalori cukup jika kehilangan berat badan
3)  Bebas cairan
4)  Batasi garam, kalium, fosfat dan elektrolit lain.
d.      Pengobatan lain meliputi:
1)   Ekstra kalsium dan vitamin D
2)   Obat-obatan khusus yang disebut binder fosfat, untuk membantu mencegah tingkat fosfat terlalu tinggi.
3)   Pengobatan untuk anemia, seperti zat besi tambahan dalam diet, pil zat besi, tembakan khusus dari erythropoietin obat yang disebut dan transfuse darah (Smeltzer, 2002).
Askepnya nanti menyusul masih sementara dalam pembuatan!! 
 I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien CKD adalah:
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat.
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan udem sekunder: volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O.
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah.
4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder, kompensasi melalui alkalosis respiratorik.
5. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan menurun.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan.
J. INTERVENSI
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
Tujuan:
Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil :
mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
b. Kaji adanya hipertensi
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia

2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:
a. Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
b. Batasi masukan cairan
R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon terhadap terapi
c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan
d. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama pemasukan dan haluaran
R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output

3.Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil: menunjukan BB stabil
Intervensi:
a. Awasi konsumsi makanan / cairan
R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b. Perhatikan adanya mual dan muntah
R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi
c. Beikan makanan sedikit tapi sering
R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
e. Berikan perawatan mulut sering
R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan

4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi melalui alkalosis respiratorik
Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
R: Mencegah terjadinya sesak nafas
d. Batasi untuk beraktivitas
R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis
Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil :
- Mempertahankan kulit utuh
- Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit
Intervensi:
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya kemerahan
R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi.
b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan
c. Inspeksi area tergantung terhadap udem
R: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek
d. Ubah posisi sesering mungkin
R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk menurunkan iskemia
e. Berikan perawatan kulit
R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit
f. Pertahankan linen kering
R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan pada area pruritis
R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera
h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar
R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan
Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi
Intervensi:
a. Pantau pasien untuk melakukan aktivitas
b. Kaji fektor yang menyebabkan keletihan
c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
d. Pertahankan status nutrisi yang adekuat


DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC
Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC



No comments:

Post a Comment